LensaKalbar – Musim penghujan telah meningkatkan ketinggian air di Sungai Kapuas dan Melawi, menimbulkan kekhawatiran akan banjir di beberapa wilayah Kabupaten Sintang. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sintang menyatakan bahwa jika situasi banjir berlanjut selama lebih dari satu bulan, dapat memicu polemik masyarakat setempat.
Kabupaten Sintang, dalam sejarahnya, mengalami banjir parah pada tahun 2021. Banjir tersebut merendam akses jalan nasional yang menghubungkan Sintang dengan Kapuas Hulu, berlangsung lebih dari sebulan, mengakibatkan gangguan lalu lintas dan dampak ekonomi yang signifikan bagi warga setempat. Bahkan, Presiden Joko Widodo turun langsung ke Sintang untuk mencari penyebab durasi banjir yang lama di kawasan konservasi tersebut.
Menurut Abdul Supriyadi, Kepala BPBD Kabupaten Sintang, pada tahun 2021, banjir melanda 12 kecamatan di Sintang, dampaknya dirasakan oleh 140.468 jiwa, dan dilaporkan dua orang meninggal dunia. Banjir ini dianggap sebagai yang terparah sejak tahun 1963.
Abdul Supriyadi juga mengakui data dari organisasi lingkungan seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), yang menunjukkan alih fungsi kawasan hutan di Kalimantan Barat untuk kepentingan investasi perkebunan dan pertambangan, berpotensi menyebabkan bencana ekologis. Dia mencatat bahwa luas kawasan hutan produksi yang dialihfungsikan untuk investasi mencapai 12 juta hektar, melebihi rencana tata ruang hutan produksi sebesar 6,4 juta hektar.
Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Barat, Nikodemus Alle, menyatakan bahwa rencana tata ruang yang buruk menyebabkan kejadian bencana ekologis, termasuk banjir di Daerah Aliran Sungai (DAS) Kapuas.
Pemerintah telah merespons dengan membuat proyek Geobag sepanjang Sungai Melawi sebagai tanggapan darurat. Namun, BPBD Sintang menyatakan kekecewaan terhadap efektivitas Geobag. Warga melaporkan masalah seperti kesulitan surutnya air, lumpur yang terperangkap di jalan raya, dan masalah lainnya. (RILIS KOMINFO SINTANG/LK1)