Tangani Korupsi DD Berjemaah di Desa Pasir

  • Whatsapp
M Rezky Rizal, Kasat Reskrim Polres Mempawah

LensaKalbar – Kasus dugaan korupsi Dana Desa (DD) tahun anggaran 2019 di Desa Pasir, Kecamatan Mempawah Hilir, masih bergulir. Kasus tersebut menyebabkan kerugian negara sekitar Rp600 juta. Batas waktu yang diberikan 2 bulan untuk mengembalikan kerugian negara pun tak dapat dipenuhi. Kini, kasus tersebut dalam penanganan Tipikor Polres Mempawah.

Kasat Reskrim Polres Mempawah, AKP M. Resky Rizal memastikan kasus korupsi berjemaah DD di Pemerintah Desa Pasir terus berjalan. Dia mengatakan kepala desa belum mengembalikan kerugian negara seratus persen.

“Kepala Desa Pasir, Abdul Hamid sudah melakukan pengembalian terhadap kerugian negara tersebut, namun sampai sekarang jumlah pengembaliannya belum 100 persen,” beber Kasat Reskrim.

Saat  ini, pihaknya akan mengecek berapa jumlah uang yang sudah dikembalikan. Mereka akan menelusuri mengenai pengakuan sang kepala desa yang menyebut dirinya sudah mengembalikan uang sebesar Rp300 juta. Kemudian terkait perpanjangan waktu, mereka akan berkoordinasi lagi dengan Inspektorat Mempawah.

“Proses penanganan kasus ini terus berjalan. Sudah lewat dua bulan, kami akan berkoordinasi dengan Inspektorat. Kami harus lihat bukti berapa sebenarnya uang yang sudah dikembalikan,” tegasnya.

Sementara itu, Inspektur Pembantu Wilayah II, Inspektorat Mempawah, Mujani mengatakan kasus korupsi berjemaah di Desa Pasir sepenuhnya telah ditangani Unit Tipikor Polres Mempawah. Dia mengatakan, berdasarkan aturan perundang-undangan, tidak ada perpanjangan waktu dalam penggantian kerugian negara dalam kasus tersebut.

“Tidak ada istilah perpanjangan, berdasarkan PP Nomor 12 Tahun 2017 tentang pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintah daerah, pasal 25 ayat (10) kasus pengaduan masyarakat yang terbukti ada unsur pidana diserahkan ke aparat penegak hukum,” jelasnya.

“Sedangkan dalam pasal 27 ayat (5) masa tindak lanjut untuk tuntutan ganti rugi selama 60 hari kerja. Tidak ada perpanjangan,” timpalnya menambahkan.

Di lain pihak, Kepala Desa (Kades) Pasir, Abdul Hamid membenarkan kasus tersebut ditangani Unit Tipikor Polres Mempawah. Dia bersama beberapa staf desa tidak serta merta mau menerima jumlah kerugian negara yang ditetapkan penyidik Inspektorat. Padahal penetapan kerugian negara yang harus dikembalikan berdasarkan pemeriksaan terhadap apa yang mereka kerjaan di desa.

“Saya sudah menjalani ketentuan yang berlaku, baik itu di Tipikor dan di APIP. Artinya kami mengikuti aturan hukum yang berlaku. Kami berusaha sekuat mungkin mengembalikan (kerugian negara) utuh, kurang lebih yang sudah dikembalikan sekitar Rp300 jutaan,” ungkapnya.

Saat ini, berkas kasus itu, menurut dia, telah diserahkan dari Inspektorat ke Tipikor Polres Mempawah. Jadi, kini, Tipikorlah yang diharapkan dia mengkaji ulang kasus tersebut. Sejauh ini dirinya pun telah menjalani pemeriksaan.

“Sejumlah perangkat desa yang terlibat dalam pekerjaan fisik yang dikorupsi anggarannya tersebut sedang diperiksa kepolisian, jumlahnya sudah tiga orang dan akan bertambah,” ujarnya.

Hamid memastikan dirinya berupaya maksimal mengembalikan kerugian negara seperti yang diperintahkan Inspektorat. Sebagai kepala desa, dia merasa berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan uang negara yang dipercayakan kepadanya.

“Uang yang di indikasikan korupsi itu kan saya tidak memakannya (menikmati), itu dilarikan ke fisik. Artinya saya harus mengembalikan dengan uang dari harta pribadi saya, dan uang sebanyak itu tidak mungkin saya dapat, hasil dari mana, mau tidak mau saya menggadaikan dan menjual aset. Sekarang proses itulah yang sedang berjalan. Intinya kami patuh dan kooperatif,” sebutnya.

Terkait batas waktu 2 bulan pengembalian kerugian negara, Hamid mengaku sudah meminta waktu tambahan kepada pihak kepolisian. Dia meminta dispensasi waktu pembayaran agar dirinya dapat memenuhi kewajiban pengembalian kerugian negara dalam kasus itu.

“Dari awal saya hanya minta dispensasi waktu saja, sama dengan desa yang lain seperti di Purun Besar kan kasusnya kurang lebih, mereka ditempo 2 tahun, kami hanya 2 bulan. Saya minta samalah, itu bentuk usaha saya meminta dispensasi, walaupun kita mengerti aturannya di Inspektorat hanya 2 bulan saja,” ujarnya membandingkan.

Lebih jauh, Hamid mengklarifikasi nominal kerugian negara yang harus dikembalikan mereka dalam kasus yang melilitnya itu. Yang semula dikatakan sebesar Rp600 juta, menurut dia, seharusnya hanya sebesar Rp520 jutaan.

“Sebenarnya keliru kalau disebut Rp600 juta. Saya kan tidak menerima uang Rp600 juta. Sebenarnya jumlah kerugian negaranya Rp520 jutaan saja. Ada mereka yang bekerja itu mau bertanggung jawab. BPD-nya dua orang, satu orang tidak mau bertanggung jawab, ada sekretarisnya juga sudah mengembalikan,” beber Hamid.

Hamid mengaku  kecewa kepada sejumlah ketua RT yang mendapat pekerjaan fisik, namun tidak mau bertanggung jawab mengembalian kerugian negara. Akibatnya, mau tak mau, dia yang menanggung kerugian tersebut.

“Karena saya tidak mau ada uang pemerintah yang tidak dipertanggunjawabkan, karena RT di Parit Seribu, ada lima orang tidak mau bertanggung jawab, itu kan saya yang mau tidak mau bertanggung jawab,” pungkasnya.

Kasus ini bermula dari pelaporan oleh warga Desa Pasir yang  menamakan dirinya Tim Sembilan. Atas laporan itu, Kepala Desa Abdul Hamid diwajibkan mengembalikan kerugian negara dalam tempo 2 bulan. Namun hampir 5 bulan berlalu sejak mencuatnya kasus tersebut di awal Januari 2021, kerugian negara belum dikembalikan 100 persen. (Dex)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *